Cerpen: Hitam Putih
- Galuh Ginanti
- Dec 16, 2016
- 5 min read
Updated: Dec 3, 2024
“Pernikahan kita tinggal sebentar lagi. Kita harus mempersiapkan dari sekarang,” itu katamu tempo hari. Engkau tampak sumringah, dan sibuk mencatat segalanya. Tak sedikitpun senyum itu lepas dari bibirmu.
Tapi… entah kenapa aku mengalami paranoid dadakan tingkat akut.
Kegilaan terbesar adalah saat dimana aku melakukan hal bodoh karena kekuranganku. Kelemahan yang tidak pernah satu orangpun tahu, termasuk engkau. Entahlah, aku tak tahu siapa yang salah. Entah karena aku terlambat mengutarakan padamu, atau entah ada alasan lain yang hanya Tuhan yang tahu pasti. Rencana-Nya memang aku akui, Maha Agung. Sebagian bahkan semua orang yang non atheis, pasti berpendapat sama.
Baik, lupakan masalah rencana Tuhan yang selalu membuat kita merinding dengan misteri di dalamnya. Fokus pada kesalahanku, dan kebodohanku. Sampai-sampai engkau muntab tak alang kepalang, dan meninggalkan cerita yang telah kita buat dari jauh-jauh hari nan lampau. Terlalu hiperboliskah aku mendeskripsikan ini? Aku hanya ingin memberitahumu satu hal, manusia memang tak ada yang sempurna, Sayang. Dan apa kau tidak tahu menahu soal itu?
Ya, ini salahku. Harusnya aku lebih terbuka, karena itu kunci utama untuk melanjutkan cerita yang telah aku rangkai dalam setiap pengalaman bersamamu. Sedari 5 tahun yang lalu.
Sampai hari ini, tepat hari keempat belas sejak kau ucapkan persiapan yang membuatmu sungguh bersemangat, aku merasa setiap inci isi perutku terus bergejolak. Mual. Aku kesetanan, tubuhku tercabik-cabik di luar kendali. Kebodohan kedua, perlahan tapi pasti, akan terjadi. Banyak perasaan kacau hinggap, sampai engkau lembut bertanya. Ternyata engkau sedikit menyadarinya. Oh, Sayang, maafkan aku.
“Kau sakit? Istirahatlah kalau begitu. Aku akan pulang. Atau kau membutuhkan perawat seperti aku?” kerlingmu manja. Ahh… aku tak tega merusak raut wajah kebahagiaanmu dengan setitik kebodohan. Kali ini, lagi-lagi aku berbohong.
“Aku kurang enak badan. Pulanglah, aku tak mau mengganggu pekerjaanmu. Tidur sebentar juga sembuh,” jawabku tanpa menatapmu.
Wajahmu yang kemudian terselaput murung tersamarkan oleh gerak ceria yang aku tahu, dipaksakan. Rasa bersalahku meningkat berpuluh kali lipat. Betapa kau begitu mencintaiku. Engkau hanya ingin melihatku bahagia, meski aku tahu kau kecewa, Gadisku. Entah apakah saat aku mengucap sebuah kelemahan yang aku pendam sendiri selama sekian tahun, kau masih bisa bersikap manis padaku atau tidak. Benar-benar menyakitkan. Aku tak mampu membayangkan itu terjadi. Perlambatlah waktu, Tuhan…
Kau menurut, dan pulang tanpa mau ku antar. Aku masih terduduk lemas, disini.
***
Waktu berjalan seakan aliran air sungai Amazon yang tak pernah surut di segala musim. Masih ada waktu sedikit lagi untuk menjelaskan hal yang mustahil tanpa resiko, walaupun kita hampir memasuki masa sakral, pernikahan. Aku tak jamin engkau bisa menerimaku dengan ikhlas karena kekurangan yang hampir lebih dari 5 tahun kututupi darimu. Seumur masa penjajakan kita, kau tahu. Setiap ingin mengutarakannya, aku seperti menelan batu yang menyumbat tenggorokan —tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Setiap kau menanyakan sesuatu, aku tercekat. Aku adalah pembohong yang tak bisa menemukan alasan untuk menutupi kebohonganku sendiri.
“Nanti malam aku dapat undangan ke hotel berbintang untuk melihat peresmian buku. Kau bisa menemaniku membeli gaun?” tanyamu riang. Buku memang soulmate keduamu setelah aku. Pertama aku memikirkan itu, aku tersenyum. Tapi tidak lagi ketika kau bilang, ”Ayolah, jangan bilang tidak bisa. Karena kau ikut nanti malam. Temani aku memilih gaun sekarang. Aku tahu ini sudah bukan jam kantor. Aku sudah memilihkan pakaian-pakaian kerjamu yang seperti zebra cross itu, dan sekarang giliranmu. Hahaha…”
Oh, tidak. Seburuk itukah pandangannya ketika aku menyukai warna itu? Hitam dan putih yang kau maksud, bukan? Maaf, Gadisku. Aku sangat menghormati warna itu.
Aku diam terlalu lama. Sadar akan hal itu, engkau cepat-cepat meminta maaf. Aku mungkin yang salah mengira, kalau kau hanya ingin mengajakku bercanda rupanya. Betapa bodohnya aku membuatmu meminta maaf untuk hal yang bukan menjadi kesalahanmu.
Bodoh!
Aku terus memaki dalam hati. Kau terus memandangku heran, aku pura-pura tak tahu.
“Maaf kalau kata-kataku menyakitimu. Aku hanya bercanda,” ucapmu. “Kalau kau tak mau mengantarku, tidak apa-apa. Kau terlihat pucat hari ini. Apa ada masalah? Kau makin jadi pendiam sekarang. Hmm.. rasanya aku berbicara sama tembok. Menggerutu sendiri, tertawa sendiri, padahal aku sedang bersamamu. Menghiburmu sudah tak berguna.”
Aku masih menyetir dalam diam. Benar katamu, aku berubah. Aku begitu hemat kata, takut kalau-kalau kebohonganku terbongkar.
Kau mulai kesal. Lalu menghela nafas panjang.
Kau mulai menyerah menghadapiku.
“Turunkan aku sekarang.”
5 menit… 7 menit…
“Sampai kapan kau mau bertransformasi menjadi orang bisu-tuli?? Aku bilang, turunkan aku sekarang!!”
Semburat merah wajahmu mulai tampak. Kau menahan geram yang amat sangat.
“Baiklah, aku akan mengantarmu.” jawabku datar. Mobil berbelok ke arah butik, dan kau berhenti bertanya, namun raut wajahmu masih menyimpan banyak tanya.
***

“Jadi, coba kau pilihkan satu untukku. Aku ingin tahu apa kau hafal seleraku saat memilih baju. Beserta warna kesukaanku. Ah, atau warna-warna soft dan semacamnya. Ayo!” serumu girang sembari menggamit lenganku, menggelayut seperti anak kecil. Perasaanmu sudah kembali normal, tapi aku belum.
Aku senang melihat sikapmu yang menyejukkan hari ini, tapi tidak untuk permintaanmu yang satu itu. Aku tertohok dalam kebingungan. Inilah puncak kekalutanku tentang kelemahan yang ku miliki. Aku harap beberapa jam lagi bukan sebuah akhir hubungan kita.
Kau mengajakku ke sebuah ruangan tempat baju-baju itu bergantungan. Aku duduk menunggumu dekat fitting room, dan sesekali bangun untuk memilihkan baju untukmu, dengan terpaksa.
Aku mulai membantu memilih satu per satu baju-baju laknat berjuta warna. Aku memilih tanpa berkomentar, karena kau yang akan mengomentarinya sendiri. Kau diam ketika aku memilih satu warna yang awam di matamu. Sangat aneh kau menatapnya.
“Apa alasanmu memilihkanku warna ini?” Alis matamu bertaut. Keheranan.
Skak mat.
Apa yang akan ku katakan? Aku menyerah soal warna. Aku tak tahu apapun tentang itu. Warna kebangsaanku hanya hitam dan putih. Aku hanya menyukai kedua warna itu dalam hidupku.
Aku berusaha tak gugup. Detik demi detik berlalu. Usahaku mengalihkan kebimbangan belum menemukan jalan keluar. Aku masih ingin menutupi semuanya.
“Memangnya nama warna itu apa, Sayang?” Akhirnya kata itu yang keluar. Ah tdak! Pertanyaan bodoh! Bodoh sekali!
Kau diam sejenak. Lalu kau menyebut, ”Itu warna entah apa, tapi beraneka warna mencolok ada di gaun itu. Kau yakin memilih yang ini?”
Bahkan kau yang tahu segala macam warna sangat susah menyebut warna apa yang kini sedang terurai pada gaun indah yang ku pilih. Karena banyak sekali warna bertabrakan di gaun itu, seperti yang kau bilang.
Aku mengalihkan perhatiannya pada sebuah gaun yang teronggok di sebelah deretan gaun yang tadi ku tunjuk. Sepotong gaun yang elegan. Cocok sekali untukmu. Tapi bagaimana kalau warnanya salah? Bagaimana kalau tidak sesuai seleramu? Aku tak pernah tahu bagaimana warna kesukaanmu. Aku hanya pernah mendengar warna favoritmu adalah biru muda. Kebimbangan melanda lagi untuk kesekian kali. Aku tak bergeming.
“Mungkin itu bagus untukmu?” ucapku refleks. Hah! Apa lagi ini! Aku tiba-tiba mengucap hal yang tak ku sadari. Matamu beralih ke gaun itu, dan mengambilnya. Kau merubah raut wajahmu cepat, tertawa. Aku senang! Aha! Tuhan, ternyata masih melindungi pembohong kelas teri seperti aku!
Kau berbalik, “Seleramu memang warna putih dan hitam. Kau benar-benar menjadikanku seorang malaikat dengan gaun warna putih ini.” Kau menggeleng-geleng meninggalkanku menuju kasir. Aku menjadi tersangka lagi. Matilah aku!
Aku berjalan mengikutinya tanpa suara.
Engkau memberiku sebuah jas berwarna putih terang. “Ini ku pilih untukmu. Agar kita serasi.”
Aku mengambilnya. “Putih yang terang,” gumamku. “Terima kasih. Maaf jika aku tak bisa memilih warna yang kau suka. Aku memang bodoh.”
“Sudah ku duga…” ucapmu pelan.
Kau menghampiri seorang wanita di dekatmu. “Permisi, maaf mengganggu sebentar. Boleh tahu warna jas ini apa?” tanyamu pada wanita itu.
Aku ingin pingsan. Tuhan, bunuh aku! Katakan ini mimpi buruk! Imajinasiku! Atau bangunkan aku sekarang!!
Tidak, ini nyata. Dan wanita itu menjawab : KUNING, bukan PUTIH. Ia tertawa.
Kau menghampiriku, menatapku. Rencanamu berhasil rupanya, Sayang.
“Ibu, batalkan semua pesanan untuk pernikahan. Aku tak ingin menikah dengan pembohong yang menggemborkan kata-kata kejujuran seolah-olah ia benar.” Kau menelepon ibumu di depanku, menatapku tajam.
Kau berdebat dengan ibumu, dan juga aku.
Cukup sudah, Sayang. Aku kalah.

Thank you for reading, fellas! Lots of love,

Comments