Sekolah vs Kerja
- Galuh Ginanti
- Sep 7, 2016
- 4 min read
Updated: Dec 9, 2024
Membaca tulisan yang saya buat enam tahun silam ini benar-benar membuat saya seperti,”Bisa nggak sih, gue putar waktu trus memperjuangkan impian-impian yang nggak bisa gue capai sekarang?” Ternyata saya di jaman dulu sebegitu bingungnya dengan pilihan mau sekolah atau kerja.
Well, ini dia. Selamat membaca.
Di pagi yang cerah ini saya putuskan untuk men-service motor di bengkel milik temen SMA saya. Sedikit bete sih, soalnya saya nggak pernah terbiasa pergi ke bengkel kalau nggak atas suruhan orang tua. Aduh, kalau udah di bengkel, ketemu makhluk yang bernama laki-laki, om-om, bapak-bapak, kadang-kadang saya suka risih sendiri, apalagi nggak ada kerjaan selain nunggu. Hiks..
Selain itu saya memang paling benci menunggu. Haha..
Ada satu hal yang membuat saya entah harus merasa bersyukur atau pasrah. Yang saya alami saat ini adalah ‘telah’ menjadi mahasiswa di Politeknik Kesehatan Negeri jurusan Kesehatan Lingkungan. To be honest, itu bukan jurusan yang benar-benar saya inginkan. Tapi entah kenapa, saya memilih jurusan itu sebagai jurusan ‘sampingan’ berlabel kesehatan, ketika di sisi lain saya malah membuang kesempatan saya sekolah di jurusan yang saya pilih. Tentu saja atas alasan; nanti kerja mau jadi apa? Punya prospek kerja yang cerah nggak? (Wah, bukannya matahari masih bersinar ya? Berarti prospek kerja masih banyak tersedia, kan?) Alasan-alasan tak masuk akal itu membuat saya sempat hilang akal. Akhirnya, saya memilih kuliah di jurusan kesehatan itu untuk memenuhi alasan tersebut. Iya, katanya agar ada prospek kerja di kemudian hari. Singkatnya, tamat kuliah langsung kerja. Apa iya? Saya juga tak yakin.
Nah, kembali ke cerita saya ketika saya berada di bengkel, yang membuat saya betah menunggu. Ketika saya ke toko spare part-nya temen saya, saya ketemu sama ibunya. Beliau bilang temen saya lagi ke Denpasar untuk ikut tes di salah satu universitas swasta (dengan jurusan yang sama, dokter). Beliau nanya-nanya banyak soal sekolah saya, jurusan apa yang saya ambil, ikut tes SNMPTN apa enggak, dan lagi-lagi, apa peluang kerja yang bisa saya ambil dari jurusan yang saya pilih itu. *sigh
Tampak raut kecewa saat ibu paruh baya itu bercerita kegagalan demi kegagalan saat anaknya tidak lulus jalur PMDK kedokteran di beberapa universitas negeri dan swasta. “Coba aja dia nggak mentok di jurusan itu aja, kalau daftar di Farmasi kan, mungkin bisa keterima,”katanya.
Iya juga sih. Terlalu mengagung-agungkan satu jurusan, nggak menjamin kita bisa mendapatkan jurusan itu segampang menjentikkan jari. Belum lagi orang-orang yang merasa dirinya mampu meraih dokter, membanjir tiap tahunnya. Pikirkanlah juga kemungkinan mendaftarnya orang-orang yang sudah memperoleh banyak sekali penghargaan di bidang sains di sekolah-sekolah bertaraf internasional ternama. Apa nggak membludak tuh?
Tapi, saya sangat salut pada teman-teman saya yang keukeuh di jurusan idaman mereka. Ehm, cerita lain misalnya, ada teman saya yang udah dapet di dokter, tapi nggak puas di jurusan beken itu saja. Beberapa diantaranya mengikuti tes di beberapa sekolah tinggi kenamaan, yang mengusung nama-nama pejabat tinggi terkenal sebagai output sekolah tersebut. Oalah.. saya mulai berpikir, apa yang ada di benak kami? Saya yang terlalu pasrah dan bersyukur, sampai-sampai saya tak pernah memutuskan untuk mengikuti SNMPTN dan tes-tes dari sekolah manapun. Kenapa? Karena sebagian otak saya sudah beralih minat; KERJA.
Wah, parah…
Kenapa saya lebih suka kerja? Saya juga nggak tahu. Kerjaan yang pernah saya lakoni itu atas dasar hobi semata, tidak pernah menghitung berapa bayaran saya, atau berapa lama saya menargetkan ini itu (dalam kasus finansial, tentunya). Kalau saya dulu pernah bekerja di salah satu radio swasta sebagai announcer, artinya saya sudah punya pengalaman, bukan? Ya, boleh dikatakan begitu. Dan itulah sebenarnya yang saya suka. Sebuah tantangan dan tanggung jawab, bekerja dengan orang-orang yang lebih ahli tanpa ada senioritas, bekerja dengan orang-orang yang lebih dewasa, sehingga saya bebas bertanya kepada orang-orang yang lebih matang di dunia yang saya tekuni ini.
— Amlapura, Juni 2010
Sudah tiga tahun semenjak lulus kuliah saya bekerja. Enam kali menetap tak cukup lama di perusahaan (karena sebab-sebab yang dirahasiakan *pssst*) dengan posisi berbeda-beda membuat saya hafal betul bagaimana siklus seorang karyawan dan aturan kerja perusahaan, plus tipikal seorang pimpinan.
Dulu saya begitu memimpikan bisa bekerja dengan cepat sesuai minat yang saya tekuni (sesuai dengan tulisan di atas). Namun sayangnya, selepas kuliah selama 3 tahun, saya tak pernah bisa mendapatkan pekerjaan sesuai jurusan kuliah, karena keasikan bekerja dengan posisi berbeda-beda tersebut hingga sekarang. Terlalu asyik mencoba pekerjaan-pekerjaan baru, namun terlalu sering juga mempelajari ilmu setengah-setengah, sehingga saya tak memiliki label ‘profesional’ dalam setiap bidang yang saya tekuni. Saya juga memutuskan untuk nggak melanjutkan kuliah lagi. Kenapa? Alasan paling masuk akalnya adalah: akan memakan waktu cukup lama bagi seorang perempuan yang sudah mau masuk usia seperempat abad.
Membaca tulisan di atas lagi-lagi mengingatkan saya kepada teman-teman yang begitu gigihnya memperjuangkan sekolah mereka dan melabeli mereka dengan ilmu yang mumpuni. Sayangnya, dunia kerja nggak begitu sempurna untuk dilakoni kecuali jika kamu memang benar-benar memiliki bakat, minat, tujuan yang bisa mengarahkan kamu bekerja lebih baik lagi.
Tapi baik sekolah maupun bekerja, jika dulu saya akan menjawab bekerja adalah kepuasan saya, maka kali ini, jika boleh kembali lagi, saya akan memilih untuk belajar. Mempelajari segala sesuatu yang saya minati dengan penuh keseriusan, fokus dan goal-oriented. Memburu beasiswa sesering mungkin, mempelajari bahasa sebanyak yang saya bisa.
Bukan dengan kuliah di jurusan yang tidak saya minati, dan berpikir setelah lulus akan langsung bekerja di tempat yang dikehendaki.
Bukan seperti itu.

Comments