Cerpen : Investasi
- Galuh Ginanti
- Jun 28, 2016
- 5 min read
Updated: Dec 3, 2024
Katakan kalau ini hanya sebuah ilusi. Katakan bahwa ini hanya omong kosong. Banyak orang yang kini menghentikan kegiatannya karena menyesali apa yang telah dilakukannya dan berharap jerih payah mereka kembali.
Aku tak habis pikir, kenapa hal ini bisa-bisanya terjadi pada orang-orang yang rata-rata mempunyai akal dan logika. Mereka yang notabene paham tentang ‘tidak ada uang yang bisa didapat tanpa sebuah kerja keras’. Lalu kenapa mereka masih terhasut dengan hal-hal yang semacam itu? Ternyata jawabannya mereka masih terpengaruh dengan fakta yang ternyata mengalahkan logika sekalipun.
Semua kini mengeluh. Menyesal. Coba cari ke sudut-sudut desa paling ujung sekalipun, aku akan menemukan bagaimana getirnya kehidupan mereka yang diselingi dengan raut wajah yang pasrah nan gelisah.
Apa aku termasuk salah satu diantaranya? Bukan. Aku hanya pengamat. Mengamati siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi aku tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kata orang, aku masih terlalu muda untuk mengekspresikan apa yang menjadi hasil pengamatanku. Terlalu beresiko. Aku heran. Apa resikonya? Aku tahu, aku adalah salah satu dari sekian ribu orang yang benar-benar tak bisa membantu siapapun. Karena aku yakin aku hanya akan dikalahkan orang-orang yang punya andil besar, atau orang-orang yang bukan sepantaranku dan menganggap dirinya lebih pintar, lebih tua, lebih bermoral, lebih beradab, lebih mempunyai wibawa, lebih terkenal, dan sebangsanya. Aku hanya diam. Mungkin ada benarnya, aku tak mau ambil resiko. Kembali, aku menjadi seorang pengamat yang ikut pasrah seperti orang-orang yang ku perhatikan di pelosok-pelosok desa.
***
“Nanti kita beli keperluan sekolahmu ya, Nak. Ibu dapat rejeki dari narik hasil inpestasi bulan depan,” jawab seorang Ibu ketika anaknya mengeluh sepatu bututnya sudah lapuk. Anak itu hanya mengangguk. Berharap kenyataan kalau sepatu baru akan bertengger manis di sepasang kakinya. Tapi ia bertanya,”Ibu, bukan inpestasi. Yang aku pernah dengar itu investasi lho, Bu. Tapi aku kurang ngerti. Artinya apa, ya, Bu?”
Ibunya terkesiap. Ia kemudian berusaha mengalihkan pikiran anaknya dari kata investasi yang sebenarnya ia pun tak tahu apa artinya. Karena ia sadar, ia hanya buruh tani yang mendengar secara getok tular, bahwa investasi mampu mengembalikan uangnya berlipat-lipat. Ia hanya berpikir bagaimana ia mampu menyekolahkan anaknya dari hasil investasi itu. Dan ia telah membuktikannya sekali, lalu ketagihan hingga menjual seekor sapi. Membayangkan uangnya akan kembali berlipat ganda, senyumnya mengembang.
Tersadar dari lamunannya, ibu itu mengelus kepala anak gadisnya dengan lembut. “Ibu juga kurang ngerti, Nak. Yang penting apapun usaha ibu, itu tujuannya agar kamu bisa sekolah. Kamu belajar yang rajin. Biar kamu tahu apa arti inpestasi itu. Ah, inpes… apa tadi? Sudahlah. Pokoknya kamu mesti jadi orang pintar. Mesti jadi orang punya, tapi tetap nggak pernah lupa sama orang-orang disini. Ya, Nak?” Ibu memberi petuah.
Anak itu hanya manggut-manggut, berusaha mengertikan apa yang menjadi petuah ibunya. “Sekarang, kamu makan dulu, sana! Kamu ndak boleh lho sampai telat makan. Nanti kamu sakit!” ujar ibunya dan mengelus kepala putrinya dengan lembut. Anak itu menurut, kemudian meninggalkan ibunya yang kembali sibuk berkutat dengan kacang-kacang yang baru dipanen.
***
Sungguh aku linglung. Aku sendiri menyesali kenapa hal konyol ini mesti terjadi lagi. Aku hampir tak bisa berkata-kata. Emosi orang kini gampang sekali meledak-ledak, hingga aku enggan untuk mendekati mereka, meminta konfirmasi. Meminta gambaran jelas tentang apa yang mereka rasakan. Jujur aku ingin sekali menjadi orang yang bisa menyadarkan mereka dari kepalsuan dan mengantarkan logika mereka kembali jalan dengan benar. Supaya mereka tidak tertipu lagi. Karena aku bosan melihat orang yang berkali-kali mengandalkan kepalsuan untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dengan cepat. Sungguh kama manusia yang kini susah untuk dikendalikan. Aku ingin marah pada mereka, tapi aku bisa apa?
Dan kali itu aku membayangkan ibu dengan seorang anak yang menagih janjinya untuk meminta sepasang sepatu. Anak yang belajar apa itu arti sebuah kata investasi. Dan seorang ibu yang menyesali investasi yang telah dilakukannya.
“Ibu, aku boleh minta ibu untuk membelikanku sepasang sepatu baru? Sepatuku benar-benar sudah ndak bisa dipakai, Bu. Pak guru menyuruhku ikut lomba, tapi aku malu pakai sepatu ini. Katanya bulan ini ibu mau membelikanku sepatu..” rengek si anak. Ibu itu menitikkan air mata. Tetapi ibu itu tetap berusaha untuk menyabarkan putri semata wayangnya. “Maafkan ibu, Nak. Beli sepatumu diundur saja ya. Ibu belum dapat uang..” kilah ibunya sambil terisak. Anak itu memandang ibunya dengan raut wajah heran. Ia seakan tak bisa menerima. Ia bahkan tak bertanya kenapa ibunya tiba-tiba menangis. Malahan anak itu mengajukan protes.
“Ibu kenapa ingkar janji? Aku sudah merasa sangat senang dari sebulan yang lalu ketika ibu bilang, ibu akan membelikan sepatu untukku! Aku hanya perlu sepatu layak, Ibu. Aku tidak mau waktu lomba ditertawakan teman-teman! Aku tidak perlu sepatu mahal, tapi aku hanya butuh sepatu yang ibu beli di tukang loak yang masih bisa kupakai!” gadis kecil itu menangis terisak. Ego dan gengsi polosnya membuatnya harus meminta pertanggungjawaban dengan apa yang telah dijanjikan ibunya. Ia kini benar-benar tak terima. Ia hanya ingin sepatu baru dan ikut lomba tanpa rasa malu pada sepatu usang yang ia kenakan sekarang.
Ibunya tak mampu berkata apapun. Seolah tak memperdulikan anaknya, ia berkata ketus,”Suruh saja bapak gurumu itu membelikan sepatu! Itu juga kalau dia ndak jadi korban inpestasi itu!”
Kemudian sang ibu berlalu tanpa menoleh ke arah anaknya sedikitpun..
Gadis kecil itu kembali menangis, karena ia tahu ia tak kan mendapatkan sepatu idamannya, dan juga merasa sial karena ia tak akan pernah mengerti apa sebenarnya masalah yang menghimpit ibunya.
***
Saraf otakku mulai menegang. Aku berubah menjadi orang yang setengah gila. Sisa-sisa kewarasanku ku gunakan untuk mulai berfikir rasional, lagi-lagi untuk menyelesaikan apa yang akan ku selesaikan sekarang. Selagi aku belum gila, pikirku.
Aku kembali ke kota itu. Kota yang pernah ku tempati bertahun-tahun. Kota yang terasa sunyi, padahal yang namanya kota, penduduknya selalu ramai. Memang banyak orang yang berlalu-lalang di hadapanku, tapi sebagian kecil orang yang ku kenal merespon saat ku sapa. Aku jengkel, mereka menganggapku seolah-olah makhluk asing yang nyasar di bumi. Tetapi inilah kenyataan. Aku masih terbius kejadian belasan tahun silam saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Kejadian dulu yang terulang kembali di masa sekarang. Kejadian yang membuat aktivitas kota terhenti, seolah mati. Aku kembali, karena di kota inilah pertama kalinya aku pernah merasakan hidup dibohongi. Aku sempat mengecap janji yang tak kunjung ada realisasinya. Aku hanya ingin mengenang orang yang ku kasihani. Aku datang untuk membuktikan padanya kalau aku kini mengerti apa kata investasi itu. Aku datang untuk membuatnya bangga padaku. Namun sayang, ia sudah pergi. Kesempatanku hilang. Parahnya, aku kembali dengan keadaan yang sama untuk kedua kalinya. Saat dimana sepatu baru yang akan ia berikan, tak jadi menghiasi kaki mungilku kala itu, hanya karena uang investasi itu tak kunjung kembali.
Kini, aku terduduk di sebelah pusaranya dan berkata,”Ibu, sepatu untukku tidak akan pernah ada. Penipuan itu terjadi lagi. Aku datang membuat Ibu bangga, karena aku sudah tahu apa arti kata investasi itu. Aku akan memberitahukan artinya..”
Angin sore yang dingin menemaniku terlelap di samping pusaranya.
***
— Amlapura, 8 Maret 2009 (telah dimuat dalam harian Denpost) Cerpen ini dibuat untuk mengingatkan saya bahwa pernah terjadi kasus penipuan besar-besaran yang terindikasi money game berkedok koperasi di tempat tinggal saya, pada tahun 2009. Namun hingga sekarang, kasusnya lenyap tanpa ada berita lebih jauh.
Remember:

Anak dari korban KKM Karangasem 2009,

Comentários