Guru: Sebuah Cerpen
- Galuh Ginanti
- Jun 17, 2016
- 6 min read
Updated: Dec 3, 2024
Cerpen Guru saya buat pada tahun 2010, tepatnya tanggal 18 April (menurut data di harddisk). Maklum, mengorek-ngorek isi harddisk adalah hal paling menyenangkan saat saya bosan. Ternyata dulu saya pernah membuat cerpen ‘seberat’ ini. Hee.
Ide cerpen ini bermula dari sebuah kata “jermal” yang diambil dari film Indonesia “Jermal” di tahun 2008 dan saya tambahkan bumbu-bumbu ‘pribadi’ menjadi rangkaian cerita seorang ayah, anak dan guru yang gigih memotivasi sang anak untuk melanjutkan sekolah.
Awalnya saya membuat cerpen ini agar berlabel (sekedar) ‘selesai’ (baca: sisa curcol yang tercurah menjadi fiksi), tetapi saya putuskan untuk mengirimnya ke koran lokal saat itu. Sayangnya nggak dimuat, belum rejekinya kali ya. :p
Saya dedikasikan cerita ini kepada seluruh guru dimanapun kalian berada. Orang-orang terhebat yang membimbing saya sepanjang hidup, para guru yang benar-benar berkorban untuk kemajuan siswa siswi mereka.
Mumpung blog bisa digunakan untuk media menulis yang mungkin bisa dibaca banyak orang, ya sudah. Saya cuma bisa bilang, selamat membaca! 🙂
***
“Aku harus membawa cita-citaku pulang, Oa,” ucapku saat langkahku berusaha menyejajari langkahnya yang tergesa-gesa.
“Percuma saja kau mendikte rincian segunung cita-citamu itu padaku. Kau tidak akan dapat ilmu soal cita-cita dariku, kau tahu?” Nada sinis khas Oa terlontar dari mulutnya yang tak henti mengoceh.
“Lupakan cita-citamu. Cari uang. Yang banyak!”
Sudah kuduga. Bila alasannya uang, sudah berdebat sengit, buntu pula.
“Aku bersekolah mencari kepuasan, Oa. Uang mana bisa dianggap pemuas?”
Oa berhenti. Ia menatapku dengan tatapan sulit diartikan. “Oh, begitu? Apa kau sadar, uang yang akan menyekolahkanmu? Bukan aku! Apa sekarang kau akan mengundang uang jatuh dari langit?” Suara Oa meninggi. Lalu, dilanjutkannya ketika ia telah mengambil cukup nafas untuk mengomel lagi,”Memangnya kau bisa membuktikan padaku, secepat apa kau bisa membeli makanan dengan tumpukan kumpulan sajakmu yang tak laku-laku itu, heh? Apa kau merasa puas saat kelaparan dan tak punya uang untuk membeli makanan? Dengar, kita bertahan hidup dengan uang, bukan dengan rangkaian kata hiperbola macam sajak-sajakmu! Mustahil berkoar-koar membaca puisi di dermaga, lalu semua orang bertepuk tangan! Kau berharap mereka memberimu uang karena kau dianggap menghibur? Terus saja bermimpi!”
Saat bersiap kembali memikul satu keranjang penuh ikan, ia melanjutkan,” Andai saja Bapak Guru yang terhormat itu tak repot merengek padaku untuk membayar uang sekolahmu, kita mungkin sudah bisa pindah ke kota. Cemana sekolah jadi mirip narkoba, malah ketergantungan. Sana! Mengeluh saja kau di sekolah biar ada kawan!” Ia mendengus, memacu derap langkah lebih cepat. Pertanda kegusarannya sudah di ambang batas.
Aku sangat maklum kenapa Oa menjadi sangat sensitif terhadapku. Kami bernasib sama, budak uang. Bukan hanya kami, semua orang di kampung juga begitu. Hidup kami penuh masalah sebab tak ada uang. Sejatinya manusia berkelimpahan pun masih menginginkan lebih banyak. Orang miskin perlu uang, biar badan tak mati. Orang kaya juga perlu uang, ah, biar gengsi tak lari?
Lupakan soal uang. Percuma minta ijin kalau pembicaraan dimonopoli satu pihak. Di mata Oa, aku sungguhlah penghambur waktu sejati.
Kukira, dengan bertandang ke tempat Oa bekerja, keluh kesahku di dengar. Tapi respon Oa terlampau rumit. Setiap amarahnya berkobar, perdebatan sengit berkibar. Mengayuh sabar hingga menit kelima apa susahnya? Bagan apung ini tak lantas berpindah ke ujung samudera jika setengah dari lima menitnya, habis kusita. Mulutku bahkan berhenti menyahut sebelum seperempat pagi.
Nama lengkapnya Samoa. Hanya itu. Memiliki nama pendek bukan berarti ia pendek akal dalam hal mendapatkan uang atau mengembalikan dirinya ke alam baka. Betul-betul seorang pekerja keras yang gila uang. Entah jumlahnya sedikit atau banyak, saat itulah ia merasa bak raja berteman sepuluh bidadari. Artinya, Oa bisa hidup tenang meski hanya untuk beberapa jam ke depan. Tanpa rasa lapar kambuhan.
Akhirnya aku memilih pulang dengan terpaksa. Menunggu Oa kembali dari kehidupan lautnya di Kampung Apo, perkampungan nelayan. Ketika Oa kembali nanti pukul tujuh malam, aku akan memilih bungkam saja.
Pak Guru datang tepat pukul lima. Menepati janjinya selumbari lalu. Beliau membawa tas hitam lusuh kebanggaannya, mengepit dua novel dan sebuah buku sajak yang sampulnya usang. Sepertinya beliau datang usai mengajar di pondok, tempat berkumpulnya pekerja anak-anak di bawah umur yang ingin belajar selepas Ashar. Beliau yang mendirikannya, bermodal jaminan nyawa kepada orang tua mereka bahwa anak-anak itu tidak akan terganggu pekerjaannya. Saban pekan, anggota pondok berkurang sedikit demi sedikit, karena orang tuanya berprinsip layaknya Oa. Takut anak mereka lebih sering mengais isi buku ketimbang rezeki. Sisa kepala kini berjumlah sepuluh dari dua puluh lima. Aku adalah diantaranya.
“Untuk kau,” katanya ketika aku hendak bertanya. “Biar usang, yang penting halamannya tak kurang. Aku tahu kau pasti bosan dengan buku yang sudah-sudah.”
Aku memekik girang dalam hati. Pak Guru paham sekali Oa tak akan menyisihkan satu sen untuk membelikan buku di tukang buku bekas keliling. Bagiku ini adalah penghargaan tertinggi dari Pak Guru, meskipun aku selalu berharap dibelikan Oa.
“Terima kasih banyak, Pak,” kataku sopan. “Karena Bapak, aku bisa menghibur diri kalau-kalau diingatkan oleh kenyataan.” Sejenak aku diam menelan ludah. Rasa pahitnya menjalar ke tenggorokan.
“Aku mungkin tak bisa lanjut sekolah, Pak. Tak ada biaya,” lanjutku. Aku mengamini ucapan Oa juga pada akhirnya. Namun siapa tahu, ada satu persen kesempatan untuk berbicara dan mengikis kekakuan keputusan Oa tadi. Lagipula, matahari belum menjemput pagi.
Kekecewaan terlihat jelas dari raut wajah Pak Guru, namun cepat-cepat ditepisnya dengan kalimat pengharapan. “Barangkali Nak, lain kali adalah waktumu. Setelah kau berpenghasilan seperti yang diinginkan ayah kau itu.”
“Susah kali ngomong ke Oa, Pak. Mana ada besok, seminggu lagi, atau tahun ajaran baru bulan depan di kamus dia? Selain uang sekolah, perlu biaya lain. Penghasilanku nanti cuma cukup untuk bertahan hidup.”
“Uang sekolah bisa diatur. Kau itu pintar, bisa dapat beasiswa.”
Hening menyusup. Hembusan nafas panjang mewakili isi otak yang bergemuruh.
Kami kehabisan kata untuk menjabarkan betapa aku sangat ingin melanjutkan sekolah. Kata Pak Guru, aku terampil di dunia kepenulisan. Terkurung dalam situasi begini, sulit benar menemukan padanan kata lain kali.
Bersekolah tinggi bagaikan merengkuh bulan. Buat apa memupuk mimpi jika mencoba berkompromi dengan situasi pun percuma. Apa artinya cita-cita untuk orang melarat sepertiku? Nihil digapai, kurasa. Hidup itu pilihan, tetapi aku mencoba untuk bertahan dalam hidup yang paling tidak merugikan. Pilih melanjutkan sekolah atau kelaparan. Semudah itu, kan? Lalu habis perkara. Sayangnya aku tak pernah tahan atas konsekuensi setiap pilihan yang kuambil karena Oa terlalu sering terlibat di dalamnya.
Ah, mendadak kedewasaan terasa pelik.
Atau mungkin aku yang baru menyadarinya?
Sebelum Pak Guru pamit pulang, Oa terlebih dulu menyembul dari balik pintu. Menenteng tas plastik hitam hasil membanting tulang di laut, entah apa isinya. Mereka bertemu pandang. Oa, dengan mulut pedasnya, menyulut perang lewat kalimat sinis,” Jangan hasut anakku dengan doktrin tak berguna itu, Pak Guru. Bawa balik semua buku kau. Kalau boleh saran…”
Suaranya memelan,” Uruslah anak kau saja. Sekolahkan dia baik-baik, karena duit kau banyak. Prinsip kita beda, Pak. Bisa jadi ini karena aku terlalu bodoh sehingga aku tak bisa membiasakan diri dengan segala prinsip dalam kepala kau itu. Kami ini miskin betul, Pak Guru. Tentu kau fasih dengan alasanku melarangnya sekolah,” lanjutnya.
Aku terhenyak mendengar suara Oa tidak selembut biasanya. Meski nada sinis sangat kentara, tetapi suara Oa barusan bergetar, seperti menahan tangis. Mungkinkah aku salah dengar?
Pak Guru tetap tenang tanpa bergeser sedikitpun dari posisinya berdiri. Beliau sungguh ahli menampung reaksi orang tua murid yang menentang anaknya mengenyam bangku sekolah.
“Saya mengerti, Pak. Anda hanya cukup memahami saja bahwa saya berusaha mengajarkan anak Anda bersikap dan menjaga lisan dengan baik.”
“Maksud kau, aku bercakap buruk?”
“Jika Anda menilai diri sendiri demikian…”
Aku mengulum senyum. Berani juga Pak Guru ini. Kulirik Oa, raut wajahnya tetap datar. Ada suara gemerutuk gigi yang terdengar samar, seperti ingin memangsa sesuatu.
“Anak Anda tidak pernah merasa terhasut, saya pun bukan tukang hipnotis yang suka mencuci otak. Ia punya kehidupan sendiri, Pak. Jangan halangi anak Anda menentukan hidupnya kelak. Kamu mau ini, Nak?” Pak Guru menunjuk buku-buku yang dibawanya tadi.
Ekor mataku masih belum lepas dari Oa sembari mengangguk takut-takut.
“Baiklah, kalau keputusannya begitu. Buku ini tidak akan saya tarik kembali, ya, Pak? Sudah ketemu rumahnya. Nah, kalau begitu, saya pamit,” tutup Pak Guru santai, meninggalkan Oa yang bersalut amarah serta aku yang resah menunggu ceramah Oa bagian ke sekian, meledak di depan muka.
Mereka berdua punya andil besar dalam kehidupanku. Pak Guru dan wejangan-wejangan berharga soal hidup. Di sisi lain, Oa menafkahiku agar tetap hidup. Mereka berdua adalah guru dan aku sangat menghormatinya.
Oa membuyarkan lamunanku dengan tepukan kecil di pundak. Suaranya melunak.
“Jadi, sekarang kau hanya tinggal memilih, Nak. Kau sendiri tahu, hidup itu pilihan…” kata Oa menggantung sejenak dan menghela nafas.
Aku menunggu kalimat Oa selesai dan berdoa lebih keras dalam hati.
“Kau mau aku kirim ke jermal, atau bekerja di toko Koh Apung? Aku tunggu jawabanmu besok pagi. Sekarang tidurlah.”
Ucapan tenang Oa seketika membuatku mati rasa.
catatan jermal : tempat penangkapan ikan besar-besaran yang ada di tengah laut, biasanya mempekerjakan anak-anak di bawah umur.
Thank you for reading, fellas! Lots of love,

コメント