top of page
jinipicks2_edited.png

Tuan Pisau, Let’s Dance!

  • Writer: Galuh Ginanti
    Galuh Ginanti
  • Dec 11, 2014
  • 2 min read

Updated: Dec 3, 2024

Tulisan super pendek ini mungkin ini adalah judul ter-phsyco yang ada disini. Seperti mata pisau, cerita super pendek yang dibuat dari sisi kedua tokoh. Ah, I am so in love with this one, semoga pembaca juga suka.

Jadi, selamat membaca! 🙂

***

Petang telah tiba. Dia mengundang saya untuk membicarakan hal yang serius. Saya datang memenuhi janji. Dengan perasaan campur aduk saya datang menemuinya yang tampak sangat tampan dengan setelan kemeja kelabu gelapnya, yah biarpun dia pakai sendal. Benar-benar raut wajah yang…. sangat saya rindukan, meskipun saya seratus juta kali menolak untuk ketemu dengan alasan, takut setelah ketemu malah keterusan mimpiin dia.


Aku datang, menjelma bak malaikat—seperti ucapannya, 


Basa basi dimulai. Dia pintar menyembunyikan perasaannya meskipun memang benar dalam hatinya sama campur aduknya seperti saya. Malah mungkin dia lebih kacau? Tapi saya harus mengatakan hal sebenarnya saat ini. Entah ini cara terburuk untuk menyakiti, atau cara terbaik untuk melupakan satu sama lain.


lalu dihempaskan dengan kejam —juga seperti ucapannya.


Ajaibnya, dia tetap tertawa padahal saya tahu dalam hatinya ingin sekali menghunus saya dengan makian. Saya yang berusaha menahan tangis entah karena alasan apa, malah dengan lugas mengucurkan air mata. Dia masih tetap tertawa, tetap mengeluarkan lelucon demi lelucon untuk menghibur. Sekilas dia mengacak-acak rambut saya, sekedar menenangkan. Kemudian tertawa lagi, seperti teman yang lama tidak bersua.


Aku membuntuti setiap cerita hidupnya, mengulangnya, lalu membuang cerita gila itu, dengan sebuah bekas, yang tak pernah bisa hilang.


“Haha.. aku nggak nyangka kamu tega banget. Tapi yah, uhm, aku speechless. Aku cuma bisa berdoa semoga kamu baik-baik saja dengan pilihanmu,” ucapnya menyunggingkan senyum.


Ada baiknya aku mengganti dengan sesuatu yang lebih berharga.

Setidaknya bukan sampah sepertimu. Pun bukan sampah seperti kenangan-kenangan itu.


Setelah semua obrolan mengalir hangat namun pedih, menyenangkan tapi nyeri, dan penuh rindu tapi haru, saya pulang dengan berlinang. Saya tidak mampu untuk menatap matanya lagi, membayangkan senyumnya lagi.

Saya kehilangan ruang untuk bernafas.


Penat.


Sesak.


Lalu, saya menemukanmu tergeletak.


Saya terlena, dan meraihmu, jemari saya menyusuri lekuk indahmu dan berfikir apa yang harus saya lakukan denganmu. Saya akan sangat berterima kasih jika kamu bisa membuat saya lupa dengan dia.

Jadi, Tuan Pisau, haruskah kita menari pengusir sedih malam ini? Kau akan mendapatkan setengah gelas red wine yang segar selepas klimaks.



Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

Share your thoughts and feedback with me. I'd love to hear from you!

Thanks for reaching out!

© The Jiniverse. All rights reserved.

bottom of page